Kia Ora, Rotorua…

Akhir pekan yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Setelah mengikuti Media Exchange Program selama lima hari di Auckland, New Zealand, rasanya saya perlu melepas penat sejenak, sebelum kembali menjalani padatnya acara yang diselenggarakan pemerintah New Zealand pada 19-28 Juni lalu.

“Kita akan ke Rotorua dengan pesawat jam 13.30,” kata Staf Departemen Luar Negeri Neuw Zealand Paki Ormsby yang menjadi “guide”. Pemerintah New Zealand juga mengajak Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mardani dan Sekretaris Majelis Pendidikan Muhamadiyah Abdul Mu’ti untuk mengikuti Youth Muslim Leaders Exchange Program.

Kami berangkat berempat. Selama perjalanan menggunakan taksi, Paki sempat memberi penjelasan sekilas tentang Rotorua, sebuah kota kecil berpenduduk 68 ribu jiwa. Di sana terdapat pusat kebudayaan suku Maori (penduduk Asli New Zealand), sumber panas bumi, hewan kiwi dan salah satu atraksi paling nyohor: peternakan dan pertunjukan biri-biri.

 

Mendengar penjelasan Paki, saya makin tak sabar menghabiskan akhir pekan di sana. Dalam perjalanan taksi kami mampir ke Museum Nasional. “Masih ada waktu, kita lihat-lihat sebentar,” kata Paki. Setelah satu jam berada di sana, dengan taksi yang berbeda, kami meluncur ke bandar udara internasional Auckland.

Tepat jam 13.00 kami tiba di bandara, kami pun bergegas ke counter check-in. Ah, sial, kami salah jadwal, pesawat Air New Zealand yang seharusnya mengangkut kami berangkat pukul 13.00. “Masih ada pesawat berikutnya, jam 18.50,” kata petugas counter check-in dengan sentum ramah. Continue reading

Bemo 1962

Pernah naek bemo? paling gak waktu kecil pernah lah.. gak pernah juga? Coba deh sekali-kali naek kendaraan beroda tiga itu. Mumpung di jakarta masih ada. Soalnya dalam beberapa hari terakhir ini gue lumayan sering naek bemo (dua kali sih.. hehehe). Trayeknya stasiun kereta manggarai-proklamasi (dpn ktr percis, pake c bukan s).

Soalnya yang gue inget.. terakhir naek bemo itu berbelas-belas tahun yang lalu. Mungkin pas tk.. jaman itu (tahunnya mending gak usah disebutin.. ketahuan nanti kalo gue masih belia..huahaha) bemo masih lewat di depan pasar burung barito. jalurnya kalo gak salah mayestik-blok A. bener gak?

Duluuu, rasanya bemo itu lumayan luasss, tapi sekarang.. gak duduk di depan, gak duduk di belakang, pasti nyenggol penumpang yang laen. kebayang kalo salah satu temen gue yang bertinggi 188,888 cm naek dan temen gue yang laen yang beratnya 120,55 kg naek bersamaan, ditanggung bakal ditimpukin penumpang laen. Mending cuma ditimpuk, kalo sampe bemonya rontok. Siapa yang mau tanggung jawab.. hehehe.

oh, ya.. bemo yang gue naekin tadi pagi ternyata buatan 1962. Meski sudah uzur, bemo berwarna merah dihiasi coklat karat itu masih sanggup bolak-balik sampe 20 rit. Dengan jumlah penumpang 7+1 (supirnya) juga masih kuat narik di tanjakan. Hebat gak tuh?

Tapi kenapa pemda DKI gak melestarikan bemo ya? meski di beberapa lokasi masih beroperasi (grogol, kota, salemba), bemo dianggap sudah tidak layak sebagai kendaraan umum. Padahal, kalo mau ditilik-tilik… bemo itu the real city “car” super kecil dan super efisien, lihat aja bodinya, lebih kecil dari bajaj tapi kapasitasnya jauh lebih besar dari bajaj. Iritnya juga gak ketulung, wong pake minyak tanah aja masih jalan.

Belum lagi bentuknya yang unik… coba kalo rapih, bersih, terawat.. pasti banyak yang milih naek bemo. Apalagi kaum adam yang mata keranjang (kenapa gak mata ranjang aja yak.. hehe) pasti doyan.. maklum, kan dempet2an. hayahhh..

jadi intinya.. cobalah melestarikan bemo2 itu.. dengan sekali-sekali naek bemo…. cukup dengan uang Rp 2000, lo bisa ngerasain sensasi si bemo.

tulisan ini diketik 01 Mei 2006 (dipindahin dari blog yang lama.. hehe)

Aceh, Setahun yang Lalu

“Aceh memang indah,” gumam saya ketika berkunjung ke Banda Aceh untuk meliput pelaksanaan darurat sipil, pada awal Desember tahun 2004. Lihat saja, pasir putih dan laut yang jernih mengelilinginya, bukit-bukit

kecil menghiasi kontur tanahnya, awan putih berserakan di antara langitnya yang biru, kedai-kedai kopi tarik bertebaran di pinggir-pinggir jalan. Tak ada mal yang megah, tak ada bangunan pencakar langit yang berjejalan, tak ada metro mini yang mengepulkan asap hitam seperti di Jakarta.

Banda Aceh bukan hanya memikat secara fisik, tapi juga dari masyarakat, tradisi dan tentu saja dari sisi kulinernya. Malam hari setelah seharian lelah meliput, saya menyempatkan mencicip mie Aceh di sebuah kedai yang tersohor dengan panganan itu. Mie Aceh di kedai yang sesak pengunjung itu memang dahsyat, apalagi mie kepitingnya.. mmhhh. Dalam hati saya pun berikrar untuk datang lagi suatu hari nanti. Mungkin.

Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Banda, tapi tidak singgah di Rex, sebuah kawasan pusat jajanan yang baru buka di sore hari dan tutup setelah hari berganti. Usai menyantap mie Aceh, saya pun beranjak kesana bersama beberapa orang teman. Sembari menyantap durian diselingi menyeruput kopi Aceh, saya menikmati suasana kota Banda Aceh di malam hari.

Banda Aceh kala itu boleh dibilang sudah mulai pulih dan relatif aman setelah status darurat militer diubah menjadi darurat sipil. “Kalau dulu (saat diberlakukan darurat militer) ada jam malam, belum jam 9 kota sudah sunyi, tak ada yang berani keluar. Sekarang sudah mulai normal,” ujar Ibrahim, penjual nasi kare saat itu.

Malam semakin tua, Rex pun semakin ramai. Kendaraan bermotor riuh hilir mudik. Sebagian dari mereka pun singgah untuk memborong durian, membeli martabak Aceh, menikmati sepiring nasi kare atau sekadar nongkrong. Semuanya menikmati malam, nyaris tak ada wajah menyiratkan ketakutan. Benak saya pun merekam sebuah Aceh yang indah, Aceh yang damai.

***

Semua kenangan indah saya tentang Banda Aceh dalam sekejap sirna, saat kabar yang mengejutkan itu datang: Aceh dilanda Tsunami pada 26 Desember 2004. Persis setelah enam belas hari saya meninggalkan Banda Aceh.

Gempa mahadahsyat berkuatan 9,3 skala richter disusul gelombang air raksasa menyerang dari seluruh penjuru mata angin, Aceh pun luluh lantak dalam waktu singkat. Rumah-rumah hancur berantakan, kapal-kapal nelayan berloncatan menuju daratan, mobil dan motor terseret-seret tanpa kendali, ribuan orang pun tak kuasa melawan, mereka semua meregang nyawa. Mati.

***

Setelah mengalami penundaan nyaris 24 jam dengan penerbangan yang begitu memompa adrenalin, pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi akhirnya mendarat di lapangan terbang Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, pada awal bulan Januari silam. Beberapa detik sebelum melangkah keluar dari pintu pesawat saya sempat melirik jam tangan, pukul 03:17 wib.

Langit masih gelap. Pekat. Tak ada bintang disana. Angin mengaum kencang, menyambut kedatangan saya. Satu persatu saya menuruni anak tangga. Angin kembali mengaum. Udara dingin pun menggigit kulit. Sedingin wajah-wajah mereka yang turun dari pesawat.
Meski petaka tsunami telah satu minggu berlalu, suasana mencekam dan duka begitu terasa.

Kesibukan luar biasa terlihat di bandara Sultan Iskandar Muda, ratusan kotak bantuan yang berisi makanan dan obat-obatan menggunung. Sebagian baru saja datang dan sedang diturunkan dari beberapa pesawat milik negara-negara sahabat.

Sementara di dalam bandara, penuh dengan orang. Para korban tsunami, pekerja sosial, relawan, jurnalis. Ada yang baru saja tiba, ada yang sudah berhari-hari menunggu pesawat, ada yang berharap bertemu sanak saudara disana, ada pula yang tak tahu harus kemana hingga memilih tinggal di bandara.

bersambung….

tulisan ini dibuat pada 26 Desember 2005