“Aceh memang indah,” gumam saya ketika berkunjung ke Banda Aceh untuk meliput pelaksanaan darurat sipil, pada awal Desember tahun 2004. Lihat saja, pasir putih dan laut yang jernih mengelilinginya, bukit-bukit
kecil menghiasi kontur tanahnya, awan putih berserakan di antara langitnya yang biru, kedai-kedai kopi tarik bertebaran di pinggir-pinggir jalan. Tak ada mal yang megah, tak ada bangunan pencakar langit yang berjejalan, tak ada metro mini yang mengepulkan asap hitam seperti di Jakarta.
Banda Aceh bukan hanya memikat secara fisik, tapi juga dari masyarakat, tradisi dan tentu saja dari sisi kulinernya. Malam hari setelah seharian lelah meliput, saya menyempatkan mencicip mie Aceh di sebuah kedai yang tersohor dengan panganan itu. Mie Aceh di kedai yang sesak pengunjung itu memang dahsyat, apalagi mie kepitingnya.. mmhhh. Dalam hati saya pun berikrar untuk datang lagi suatu hari nanti. Mungkin.
Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Banda, tapi tidak singgah di Rex, sebuah kawasan pusat jajanan yang baru buka di sore hari dan tutup setelah hari berganti. Usai menyantap mie Aceh, saya pun beranjak kesana bersama beberapa orang teman. Sembari menyantap durian diselingi menyeruput kopi Aceh, saya menikmati suasana kota Banda Aceh di malam hari.
Banda Aceh kala itu boleh dibilang sudah mulai pulih dan relatif aman setelah status darurat militer diubah menjadi darurat sipil. “Kalau dulu (saat diberlakukan darurat militer) ada jam malam, belum jam 9 kota sudah sunyi, tak ada yang berani keluar. Sekarang sudah mulai normal,” ujar Ibrahim, penjual nasi kare saat itu.
Malam semakin tua, Rex pun semakin ramai. Kendaraan bermotor riuh hilir mudik. Sebagian dari mereka pun singgah untuk memborong durian, membeli martabak Aceh, menikmati sepiring nasi kare atau sekadar nongkrong. Semuanya menikmati malam, nyaris tak ada wajah menyiratkan ketakutan. Benak saya pun merekam sebuah Aceh yang indah, Aceh yang damai.
***
Semua kenangan indah saya tentang Banda Aceh dalam sekejap sirna, saat kabar yang mengejutkan itu datang: Aceh dilanda Tsunami pada 26 Desember 2004. Persis setelah enam belas hari saya meninggalkan Banda Aceh.
Gempa mahadahsyat berkuatan 9,3 skala richter disusul gelombang air raksasa menyerang dari seluruh penjuru mata angin, Aceh pun luluh lantak dalam waktu singkat. Rumah-rumah hancur berantakan, kapal-kapal nelayan berloncatan menuju daratan, mobil dan motor terseret-seret tanpa kendali, ribuan orang pun tak kuasa melawan, mereka semua meregang nyawa. Mati.
***
Setelah mengalami penundaan nyaris 24 jam dengan penerbangan yang begitu memompa adrenalin, pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi akhirnya mendarat di lapangan terbang Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, pada awal bulan Januari silam. Beberapa detik sebelum melangkah keluar dari pintu pesawat saya sempat melirik jam tangan, pukul 03:17 wib.
Langit masih gelap. Pekat. Tak ada bintang disana. Angin mengaum kencang, menyambut kedatangan saya. Satu persatu saya menuruni anak tangga. Angin kembali mengaum. Udara dingin pun menggigit kulit. Sedingin wajah-wajah mereka yang turun dari pesawat.
Meski petaka tsunami telah satu minggu berlalu, suasana mencekam dan duka begitu terasa.
Kesibukan luar biasa terlihat di bandara Sultan Iskandar Muda, ratusan kotak bantuan yang berisi makanan dan obat-obatan menggunung. Sebagian baru saja datang dan sedang diturunkan dari beberapa pesawat milik negara-negara sahabat.
Sementara di dalam bandara, penuh dengan orang. Para korban tsunami, pekerja sosial, relawan, jurnalis. Ada yang baru saja tiba, ada yang sudah berhari-hari menunggu pesawat, ada yang berharap bertemu sanak saudara disana, ada pula yang tak tahu harus kemana hingga memilih tinggal di bandara.
bersambung….
tulisan ini dibuat pada 26 Desember 2005